Membandingkan Anak Satu dengan Anak Lain

Oleh M Musrofi dipublikasikan pada 21 Februari, 2025

Apakah kita pernah membandingkan perilaku atau kemajuan anak kita dengan anak-anak lain pada usia yang sama? Jika demikian, ini akan menyebabkan stress bagi diri kita sendiri dan juga anak-anak kita. Membandingkan anak kita dengan orang lain adalah kegiatan akhirnya sia-sia. Tapi ini sulit untuk dihentikan, seperti kita cenderung untuk menilai kemajuan diri kita dalam segala bidang kehidupan dengan membandingkan dengan rekan-rekan kita.

Upaya “membandingkan” ini seringkali dipakai sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi perkembangan anak atau untuk memotivasi anak. Misalnya, si A yang tulisannya bagus, sementara si B yang memiliki tulisan yang kurang bagus. Atau si A yang begitu berani untuk maju ke depan kelas berpidato, sementara si B yang pemalu yang sama sekali tidak mau apabila diminta berpidato di depan kelas.

Sebaiknya kita berhati-hati dalam membandingkan tersebut. Tidak semua hal yang melekat pada diri anak bisa dibandingkan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Karena setiap anak memiliki potensi unik. Potensi unik ini bisa berupa bakat unik, cara belajar yang unik, tulisan yang unik, sumber motivasi yang unik, cara berbicara yang unik, pola pikir yang unik, dan lain-lain.

Membandingkan satu anak dengan anak yang lain seperti membandingkan rasa jeruk dengan rasa durian, tidak “nyambung”, tidak “fair”, tidak logis. Karena jeruk memiliki corak rasa tersendiri yang berbeda dengan durian. Kalau mau membandingkan apakah jeruk yang kita makan enak atau tidak, ya dibandingkan dengan jeruk yang lain; tidak bisa dibandingkan dengan durian.

Bacalah Untuk Mengetahui Perkembangan Anak, Tidak Dengan Cara Membandingkan Anak Yang Satu dengan Anak Yang Lain.

Referensi

  • Tulisan di atas, diambil dari buku penulis (M Musrofi) yang berjudul "Sukses Akademik dan Sukses Bakat", Penerbit Elex Media, Gramedia Group, Jakarta, 2016.